Minggu, 11 Januari 2009

Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat

BAHASA DAN TINGKATAN SOSIAL MASYARAKAT

OLEH : Yahya muchlis ( K1204059 )

Bahasa merupakan fenomena sosial. Kita tidak dapat memisahkan bahasa dari kebudayaan di dalam masyarakat, sebab hubungan antara keduanya sangat erat. Bahasa itu sudah menyatu benar dengan orang yang menggunakannya dan memlikinya. Karena bahasa itu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kebudayaan di dalam masyarakat, maka setiap bahasa merefleksikan kebudayaan masyarakat pemakainya. Bahasa itu merupakan bagian dari sistem nilai, kebiasaan, dan keyakinan yang kompleks yang membentuk suatu kebudayaan.

Semua kebudayaan mempunyai konvensi. Cara berperilaku, berpakaian, duduk, makan, berbicara, meminang dan sebagainya mengikuti konvensi ada tata cara yang disepakati yang dibakukan. Karena bahasapun salah satu bentuk perilaku, maka mudahlah dipahami bahwa bahasapun merupakan konvensi. Bahasa digunakan sesuai dengan standar yang disepakati dan diikuti bersama oleh kelompok masyarakat tertentu.

Bahasa dan masyarakat, bahasa dan kemasyarakatan, dua hal yang bertemu di satu titik, artinya antara bahasa dan masyarakat tidak akan pernah terpisahkan. Bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, digunakan oleh anggota masayarakat sebagai alat komunikasi, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa begitu melekat erat, menyatu jiwa di setiap penutur di dalam masyarakat. Ia laksana sebuah senjata ampuh untuk mempengaruhi keadaan masyarakat dan kemasyarakatan. Fungsi bahasa sebagai alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan di dalam masyarakat inilah di namakan fungsi bahasa secara tradisional. Maka dapat di katakan hubungan antara bahasa dan penggunanya di dalam masyarakat ini merupakan kajian sosiolinguistik.

berbicara tentang bahasa dan masyarakat, maka tidak terlepas dari istilah “ masyarakat bahasa”. Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang memiliki bahasa bersama atau merasa termasuk dalam kelompok itu, atau berpegang pada bahasa standar yang sama. Masyarakat tutur adalah istilah netral. Ia dapat dipergunakan untuk menyebut masyarakat kecil atau sekelompok orang yang menggunakan bentuk bahasa yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dalam bahasanya. Jadi masyarakat bahasa atau masyarakat tutr

Abaerbicara tentang bahasa dan masyarakat tentu tidak terlepas dengan kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat, maka titik tolaknya adalah hubungan bahasa dengan kebudayaan dari masyarakat yang memiliki variasi tingkat- tingkat sosial. Ada yang menganggap bahasa itu adalah bagian dari masyarakat, namun ada yang menganggap bahasa dan kebudayaan itu dua hal yang berbeda, tetapi hubungan antara keduanya erat, sehingga tidak dapat dipisahkan, yang menganggap bahasa banyak dipengaruhi oleh kebudayaan, sehinnga apa yang ada dalam kebudayaan akan tercermin dalam bahasa.Di sisi lain ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia, atau masyarakat penuturnya.

Bagaimanakah bentuk hubungan antara bahasa dengan masyarakat? Bentuk hubungan bahasa dengan masyarakat adalah adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu didalam masyarakat.Sebagai contoh di dalam kegiatan pendidikan kita menggunakan ragam baku, untuk kegiatan yang sifatnya santai ( non formal ) kita menggunakan bahasa yang tidak baku, di dalam kegiatan berkarya seni kita menggunakan ragam sastra dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan menggunakan bahasa yang benar, yaitu penggunaan bahasa pada situasi yang tepat atau sesuai konteks di mana kita menggunakan bahasa itu untuk aktivitas komunikasi.

Masyarakat merupakan keadaan yang beragam, termasuk tingkatan sosial didalamnya. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat hubungan antara bahasa dengan tingkatan sosial yang ada didalam masyarakat.Tingkatan sosial di dalam masyarakat ini dapat ditinjau dari dua segi. Pertama, dari segi kebangsawanan; dan yang kedua dari segi kadudukan sosial yang berupa tingkatan pendidikan dan keadaan sosial ekonomi yang dimiliki. Biasanya orang yang mamiliki taraf pendidikan tinggi maka keadaan perekonomian juga tinggi, namun hal ini tidaklah mutlak.Bisa saja orang yang memiliki taraf pendidikan yang baik, namun taraf perekonomianya kurang baik. Di sisi lain orang yang tidak memiliki taraf pendidikan yang baik, namun memiliki keadaan sosial ekonomi yang baik.

Kebangsawanan dan bahasa, bagaimanakah bentuk hubunganya? Untuk dapat melihat hubunganya, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Di lihat dari segi kebangsawanan, masyarakat Jawa di bagi menjadi beberapa tingkat, antara lain wong cilik, wong saudagar, priyayi dan ndara (menurut pendapat Kuntjaraningrat). Dari penggolongan itu jelas adanya pebedaan tingkat dalam masayarakat tutur bahasa jawa. Dasarkan penggolongan, maka di dalam masyarakat jawa memiliki berbagai variasi bahasa yang di gunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Ragam bahasa yang di gunakan oleh kalangan wong cilik berbeda dengan ragam bahasa yang di gunakan oleh para priayi. Tingkat sosial yang berbeda juga menyebabkan perbedaan variasi yang berbeda. Sebagi contoh apabila wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara atau petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing – masing menggunakan variasi bahasa jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi yaitu krama, dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Variasi bahasa seperti ini di dalam bahasa jawa disebut undak usuk. Penggunakan tingkatan bahasa yang disebut undak usuk ini mempertimbangkan kedudukan tingkat sosial yang dimiliki. Adanya tingkat – tingkat bahasa ini menyebabkan penutur dari masyarakat jawa tersebut untuk mengetahui lebih dulu kedudukan sosialnya terhadap lawan bicaranya. Ada kalanya mudah, tetapi seringkali tidak mudah. Lebih – lebih lagi kalau terjadi si penutur lebig tinggi kedudukan sosialnya tetapi usianya lebih muda. Atau sebaliknya, kedudukan sosialnya lebih rendah, tetapi usianya lebih tua dari lawan bicarnya. Kesulitan ini di tambah pula dengan semacam kode otik, bahwa seorang penutur tidak boleh menyebut dirinya dengan tingkat bahasa yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat di lihat betapa rumitnya pemilihan var iasi bahasa untuk berbicara bahasa jawa.

Berkaitan dengan adanya undak usuk ini bahasa jawa terbagi menjadi dua, yaitu krama untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah.namun diantara keduanya masih terdapat adayan tingkat – tingkat anatara. Seorang pakat bahasa jawa bernama Uhlenbeck membagi tingkat variasi bahasa jawa menjadi tiga, yaitu krama, madya,dan ngoko.selanjutnya, masing – masing di bagi lagi menjadi muda krama, kramantara, dan wreda krama, madyangngko, madyantara, dan madyakrama; ngoko sopan dan ngoko andhap.Cliffort Geertz, membagi menjadi dua bagian pokok, yaitu krama dan ngoko. Krama diperinci menjadi krama inggil, krama biasa dan krama madya. Sedangkan ngoko diperinci menjadi ngoko madya, ngoko biasa dan ngoko sae.

Dalam masyarakay kota besar yang heterogen dan multi etnis, tingkat status sosial berdasarkan derajad kebangsawanan mungkin sudah tidak ada , atau walaupun ada sudah tidak domonan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat status sosial ekonomi. Itulah keadaan masyarakat ibu kota yang di kenal sebagai golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Pihak yang berpredikat golongan atas, golongan menengah ataupun golongan bawah bersifat relatif, agak sukar ditentukan, namun kalau dilihat dari keadaan/status sosial ekonomi, maka anggota ketiga golongan itu bisa ditentukan.Masalah kita sekarang adalah adakah hubungan antara kelas-kelas golongan sosial ekonomi ini dari penggunaan bahasa.